
The Fed Kembali Turunkan Suku Bunga Acuan Dan Hal Ini Tentu Sangat Bisa Berpengaruh Pada Nilai Tukar Rupiah. Pada akhir Oktober 2025, Federal Reserve (The Fed) kembali menurunkan suku bunga acuannya sebesar 0,25 persen poin menjadi kisaran 3,75 hingga 4 persen. Keputusan ini menjadi pemangkasan kedua sepanjang tahun, setelah langkah serupa dilakukan pada September. Langkah tersebut diambil di tengah tanda-tanda melemahnya pasar tenaga kerja Amerika Serikat dan meningkatnya risiko perlambatan ekonomi. Meskipun inflasi masih berada di atas target 2 persen, data menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan kerja mulai melambat, tingkat pengangguran sedikit naik, dan daya beli masyarakat mulai menurun.
The Fed menilai bahwa kondisi ekonomi saat ini membutuhkan dorongan tambahan agar tidak jatuh ke dalam stagnasi. Penurunan suku bunga diharapkan dapat membuat biaya pinjaman menjadi lebih rendah, baik bagi rumah tangga maupun pelaku usaha. Dengan bunga yang lebih murah, konsumsi dan investasi diharapkan bisa meningkat, sehingga roda ekonomi kembali bergerak lebih cepat. Langkah ini juga menjadi sinyal bahwa The Fed berusaha menjaga keseimbangan antara menekan inflasi dan menjaga pertumbuhan agar tidak melemah terlalu dalam.
Namun, pemangkasan ini tidak serta merta menandakan dimulainya siklus pelonggaran yang panjang. The Fed menegaskan bahwa keputusan selanjutnya akan sangat bergantung pada perkembangan data ekonomi mendatang. Jika inflasi kembali meningkat atau kondisi pasar tenaga kerja membaik, maka ruang untuk menurunkan suku bunga lebih jauh akan semakin kecil. Sikap hati-hati ini diambil untuk menghindari risiko baru, seperti lonjakan harga akibat kebijakan moneter yang terlalu longgar. Dampak dari keputusan The Fed ini mulai terasa di berbagai sektor. Suku bunga kredit dan hipotek di Amerika Serikat cenderung turun, memberi sedikit ruang napas bagi konsumen.
Kebijakan The Fed Berpengaruh Besar Terhadap Nilai Tukar Rupiah karena hubungan erat antara pasar keuangan global dan arus modal asing. Ketika The Fed menurunkan suku bunga acuannya, imbal hasil aset keuangan di Amerika Serikat seperti obligasi dan deposito menjadi lebih rendah. Kondisi ini biasanya mendorong investor global untuk mencari peluang dengan imbal hasil lebih tinggi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Akibatnya, aliran dana asing masuk ke pasar obligasi dan saham domestik meningkat, yang memperkuat posisi rupiah terhadap dolar Amerika. Dengan kata lain, penurunan suku bunga The Fed dapat memberikan tekanan positif bagi nilai tukar rupiah dalam jangka pendek.
Sebaliknya, ketika The Fed menaikkan suku bunga, situasinya berbalik. Kenaikan suku bunga di Amerika membuat aset dolar menjadi lebih menarik karena menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi dan di anggap lebih aman. Investor global cenderung menarik dana mereka dari pasar negara berkembang untuk dialihkan kembali ke aset berbasis dolar. Arus keluar modal ini menyebabkan permintaan terhadap dolar meningkat sementara pasokan di pasar domestik menurun. Dampaknya, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar. Pelemahan ini sering kali di sertai gejolak di pasar saham dan obligasi karena investor melakukan penyesuaian portofolio.
Selain faktor arus modal, kebijakan The Fed juga memengaruhi ekspektasi pasar terhadap inflasi dan stabilitas ekonomi global. Jika pasar menilai kebijakan The Fed terlalu agresif dalam menekan inflasi, risiko resesi global meningkat. Ketidakpastian ini dapat menurunkan minat investor terhadap aset berisiko, termasuk rupiah. Sebaliknya, jika The Fed mengambil kebijakan yang lebih longgar, kepercayaan terhadap pertumbuhan ekonomi dunia bisa meningkat, yang cenderung memperkuat mata uang negara berkembang.
Ketika Federal Reserve (The Fed) menurunkan suku bunga acuannya, imbal hasil aset keuangan di Amerika Serikat seperti obligasi pemerintah dan deposito ikut menurun. Bagi investor global, keputusan ini Mengurangi Daya Tarik Berinvestasi Di AS karena potensi keuntungan menjadi lebih kecil. Dalam kondisi seperti ini, investor cenderung mencari alternatif investasi di negara-negara berkembang yang menawarkan tingkat pengembalian lebih tinggi. Fenomena ini di sebut sebagai pergeseran arus modal global atau capital flow shift. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, dan Vietnam sering menjadi tujuan karena menawarkan pertumbuhan ekonomi yang relatif cepat dan potensi imbal hasil yang lebih besar di pasar obligasi dan saham.
Penurunan imbal hasil di AS juga memicu perubahan strategi di kalangan manajer aset internasional. Banyak dari mereka mulai meningkatkan alokasi dana ke emerging markets untuk menyeimbangkan portofolio dan memperoleh keuntungan optimal. Misalnya, ketika suku bunga di AS berada pada tingkat rendah, imbal hasil obligasi pemerintah AS menjadi kurang menarik di bandingkan obligasi negara berkembang yang bisa menawarkan bunga lebih tinggi, bahkan dua hingga tiga kali lipat. Kondisi ini mendorong permintaan terhadap aset-aset berdenominasi mata uang negara berkembang, yang pada gilirannya memperkuat nilai tukar lokal seperti rupiah. Selain itu, masuknya dana asing dapat meningkatkan likuiditas di pasar keuangan domestik dan mendorong pertumbuhan sektor riil.
Namun, pergeseran investasi ini tidak selalu bersifat permanen. Arus modal asing sangat sensitif terhadap perubahan ekspektasi pasar terhadap kebijakan The Fed. Jika kemudian muncul sinyal bahwa The Fed akan kembali menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi, investor bisa dengan cepat menarik dana mereka dari negara berkembang untuk kembali ke aset berbasis dolar.
Langkah The Fed menurunkan suku bunga acuan Memiliki Dampak Ganda Terhadap Inflasi dan pasar komoditas global. Secara teori, penurunan suku bunga di lakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi dan investasi. Ketika biaya pinjaman menjadi lebih murah, masyarakat dan perusahaan cenderung meningkatkan pengeluaran. Namun, di sisi lain, peningkatan permintaan ini justru berpotensi memicu kenaikan harga barang dan jasa, termasuk komoditas dan energi. Dengan demikian, meskipun kebijakan pelonggaran moneter dapat membantu mengatasi perlambatan ekonomi, ia juga berisiko menimbulkan tekanan baru terhadap inflasi, terutama bila di lakukan pada saat harga-harga global masih tinggi.
Dalam konteks saat ini, keputusan The Fed untuk menurunkan suku bunga muncul ketika inflasi di Amerika Serikat belum sepenuhnya turun ke target 2 persen. Hal ini membuat banyak analis menilai kebijakan tersebut berpotensi memunculkan tekanan inflasi baru. Ketika dolar melemah akibat suku bunga rendah, harga komoditas seperti minyak, emas, dan gas alam biasanya naik karena komoditas global umumnya di perdagangkan dalam dolar. Dolar yang lebih lemah membuat harga komoditas tampak lebih murah bagi pembeli dari luar Amerika, sehingga permintaan meningkat. Kenaikan harga energi seperti minyak dan gas kemudian dapat menyebar ke sektor lain. Meningkatkan biaya transportasi dan produksi di berbagai negara.
Meski begitu, The Fed juga memiliki pertimbangan untuk menghindari resesi. Dengan menurunkan suku bunga, mereka berusaha menjaga agar aktivitas ekonomi tidak menurun terlalu tajam. Jika pertumbuhan ekonomi kembali stabil, tekanan inflasi jangka panjang bisa lebih mudah di kendalikan. Karena suplai barang dan jasa ikut meningkat karena adanya kebijakan The Fed.