Living Together
Living Together Bisa Di Pidana Mulai 2026

Living Together Bisa Di Pidana Mulai 2026

Living Together Bisa Di Pidana Mulai 2026

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Living Together
Living Together Bisa Di Pidana Mulai 2026

Living Together Bisa Di Pidana Mulai 2026 Dan Hal Ini Memengaruhi Pola Hidup Anak Muda Dan Pasangan Nonmenikah. Mulai 2 Januari 2026, Indonesia akan resmi memberlakukan KUHP baru yang telah disahkan sejak 2022. KUHP ini menggantikan aturan lama peninggalan Belanda dan membawa banyak pasal baru yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk soal kohabitasi atau yang lebih dikenal dengan istilah Living Together. Dalam pasal 412 KUHP baru, diatur bahwa pasangan yang hidup bersama layaknya suami istri tanpa ikatan perkawinan sah dapat dipidana. Sanksi yang diatur berupa pidana penjara maksimal 6 bulan atau denda kategori II dengan nilai yang cukup besar.

Meski demikian, pasal ini bukanlah delik umum, melainkan delik aduan. Artinya, proses hukum tidak bisa berjalan begitu saja tanpa adanya laporan dari pihak tertentu. Jika pelaku sudah menikah, maka yang berhak melapor adalah suami atau istri sahnya. Jika pelaku belum menikah, laporan hanya bisa diajukan oleh orang tua atau anaknya. Mekanisme ini membuat penegakan hukum terhadap kasus kohabitasi sangat bergantung pada aduan keluarga dekat, bukan inisiatif aparat. Namun dalam praktiknya, masih ada perdebatan soal pihak lain seperti aparat desa yang mungkin ikut berperan.

Penerapan aturan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang mendukung berpendapat bahwa aturan ini sejalan dengan norma sosial dan budaya Indonesia yang menjunjung tinggi pernikahan sah. Di sisi lain, banyak kalangan menilai pasal ini bisa mengganggu ranah privat individu. Tanpa kejelasan pedoman pelaksanaan, dikhawatirkan pasal ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Terlebih lagi, KUHP baru juga mengenalkan konsep living law atau hukum yang hidup di masyarakat, sehingga implementasinya bisa berbeda di tiap daerah. Akibatnya, bisa terjadi perbedaan perlakuan hukum antara daerah yang lebih konservatif dan daerah yang lebih toleran.

Aturan Baru Dalam KUHP

Aturan Baru Dalam KUHP yang berlaku mulai 2 Januari 2026 membawa perubahan besar dalam hukum pidana Indonesia. Salah satu pasal yang paling banyak di bicarakan adalah mengenai kohabitasi atau hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah. Pasal ini mengatur bahwa pasangan yang memilih tinggal bersama layaknya suami istri, namun belum menikah, dapat di pidana dengan ancaman hukuman penjara hingga 6 bulan atau denda dalam jumlah tertentu. Dengan di berlakukannya aturan ini, kohabitasi yang sebelumnya tidak di atur secara tegas dalam KUHP lama, kini resmi menjadi tindak pidana. Inilah yang membuat aturan ini di sebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pasangan yang belum menikah.

Poin penting dari aturan ini adalah sifatnya sebagai delik aduan. Artinya, penegakan hukum hanya bisa di lakukan jika ada laporan dari pihak yang berhak. Jika pasangan yang melakukan kohabitasi sudah terikat perkawinan dengan orang lain, maka yang dapat melaporkan adalah suami atau istri sahnya. Namun jika kedua pelaku belum menikah, maka pengaduan hanya bisa datang dari orang tua atau anak mereka.

Mekanisme ini menjadikan kasus kohabitasi tidak otomatis di tindak oleh aparat, tetapi sangat tergantung pada aduan keluarga dekat. Walau begitu, tetap saja aturan ini membuka peluang kriminalisasi, sebab hubungan pribadi antara dua orang dewasa bisa masuk ranah pidana bila di laporkan. Kriminalisasi ini menimbulkan perdebatan karena di anggap menyentuh ranah privat. Banyak kalangan menilai negara terlalu jauh mengatur urusan pribadi warga, terutama ketika hubungan tersebut di jalani secara suka sama suka oleh kedua pihak.

Kriminalisasi Living Together Menimbulkan Berbagai Dampak Sosial

Kriminalisasi Living Together Menimbulkan Berbagai Dampak Sosial yang cukup besar di Indonesia. Pertama, aturan ini berpotensi memperkuat norma sosial dan budaya yang menjunjung tinggi pernikahan sah sebagai ikatan resmi antara pria dan wanita. Dalam masyarakat yang masih kental dengan nilai agama dan adat, keberadaan pasal ini di anggap mampu menjaga moralitas publik dan mencegah hubungan di luar perkawinan. Dukungan datang dari kalangan konservatif yang melihat aturan ini sebagai cara negara ikut menjaga tatanan sosial agar sesuai dengan norma yang berlaku.

Namun, dampak lain yang muncul adalah potensi konflik dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Karena pasal kohabitasi merupakan delik aduan, laporan hanya bisa di lakukan oleh pihak tertentu seperti orang tua, anak, atau pasangan sah. Kondisi ini bisa menimbulkan keretakan hubungan keluarga jika ada perbedaan pandangan mengenai pilihan hidup anggota keluarganya. Selain itu, masyarakat juga bisa terbelah antara yang mendukung penegakan pasal ini dan yang menilai bahwa aturan tersebut terlalu mencampuri urusan pribadi. Akibatnya, muncul risiko stigma sosial terhadap pasangan yang tinggal bersama tanpa menikah, meskipun mereka melakukannya atas dasar kesepakatan.

Dampak sosial lainnya adalah kemungkinan terjadinya diskriminasi. Pasangan yang tidak bisa segera mencatatkan pernikahan secara resmi, misalnya karena alasan ekonomi, administratif, atau budaya, bisa terjerat aturan ini. Masyarakat adat yang memiliki tata cara perkawinan sendiri juga bisa menghadapi masalah jika adat mereka tidak di akui secara formal oleh negara. Situasi ini bisa memperlebar jurang sosial antara kelompok yang mampu memenuhi syarat administrasi pernikahan dengan mereka yang kesulitan. Selain itu, karena KUHP baru mengakui konsep living law, penerapan pasal kohabitasi bisa berbeda-beda di tiap daerah. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan perlakuan hukum antar wilayah.

Banyak Menimbulkan Perdebatan

Dalam KUHP baru yang akan berlaku pada Januari 2026, salah satu aturan yang Banyak Menimbulkan Perdebatan adalah pasal mengenai living together atau kohabitasi. Pasal ini menegaskan bahwa pasangan yang hidup bersama layaknya suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah dapat di kenakan sanksi pidana. Bentuk sanksinya berupa pidana penjara dan pidana denda. Ancaman pidana penjara yang di atur adalah maksimal 6 bulan, sementara untuk denda masuk kategori II dengan nominal sekitar 10 juta rupiah. Kedua jenis sanksi ini memperlihatkan bahwa negara ingin memberi konsekuensi hukum bagi perilaku yang di nilai tidak sesuai norma sosial dan hukum yang berlaku.

Namun, penting di catat bahwa sanksi pidana ini tidak bisa langsung di terapkan begitu saja tanpa adanya laporan resmi. Pasal mengenai kohabitasi adalah delik aduan, artinya penegakan hukum. Hanya dapat di lakukan jika ada pengaduan dari pihak tertentu yang berhak. Jika salah satu pihak sudah terikat perkawinan, maka yang berhak melaporkan adalah pasangan sahnya. Jika kedua pihak belum menikah, maka orang tua atau anak dapat mengajukan laporan. Dengan demikian, sanksi pidana baru bisa berjalan ketika ada keluarga yang merasa di rugikan dan melaporkannya ke pihak berwenang.

Bentuk sanksi pidana berupa penjara tentu menjadi konsekuensi paling berat karena bisa membatasi kebebasan seseorang. Hanya karena memilih hidup bersama tanpa menikah. Sementara itu, sanksi denda meski terlihat lebih ringan tetap menimbulkan beban finansial yang tidak sedikit. Terutama bagi pasangan dari kalangan menengah ke bawah. Kedua bentuk sanksi ini bisa berujung pada stigma sosial karena pelaku di anggap melanggar hukum dan norma yang berlaku. Inilah aturan baru yang akan di tetapkan untuk kasus Living Together.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait