

Paparan Informasi Negatif Bisa Pengaruhi Kesehatan Fisik Dan Bisa Membuat Sulit Tidur Nyenyak Serta Memicu Insomnia. Saat ini Paparan Informasi Negatif baik dari media sosial, berita, maupun percakapan sehari-hari, dapat memengaruhi kesehatan fisik seseorang secara nyata. Ketika seseorang terus-menerus menerima berita buruk, misalnya tentang konflik, bencana, atau masalah sosial, tubuh akan merespons dengan meningkatkan produksi hormon stres seperti kortisol dan adrenalin. Hormon ini sebenarnya berfungsi melindungi tubuh dari bahaya dalam jangka pendek, namun jika terus dipicu akibat paparan informasi negatif yang berulang, tubuh justru mengalami kelelahan. Stres kronis yang diakibatkan oleh informasi negatif dapat menyebabkan gangguan tidur, penurunan daya tahan tubuh, hingga memperburuk kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya.
Selain itu, paparan konten negatif bisa memicu reaksi psikosomatis, yaitu kondisi ketika tekanan psikologis memunculkan gejala fisik. Misalnya, seseorang yang terus-menerus mengonsumsi berita penuh ketakutan dapat mengalami sakit kepala, tegang otot, gangguan pencernaan, atau jantung berdebar. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang diproses oleh pikiran dapat diterjemahkan tubuh dalam bentuk keluhan fisik. Bahkan, kebiasaan memikirkan hal-hal negatif yang ditimbulkan dari paparan berita buruk bisa memperparah kondisi seperti hipertensi, maag, dan migrain.
Paparan informasi negatif juga sering membuat seseorang mengubah pola hidupnya menjadi kurang sehat. Misalnya, karena merasa cemas, seseorang lebih sering begadang untuk terus memantau informasi, mengonsumsi makanan cepat saji karena kurang motivasi untuk menyiapkan makanan sehat, atau bahkan merokok dan minum alkohol sebagai bentuk pelarian. Semua pola hidup tersebut berkontribusi pada menurunnya kesehatan fisik secara perlahan.
Paparan Informasi Negatif Dapat Memicu Stres pada individu. Ketika seseorang menerima berita buruk, misalnya tentang bencana alam, kriminalitas, konflik, atau isu kesehatan global, otak akan segera merespons dengan mengaktifkan sistem saraf simpatis. Respon ini membuat tubuh melepaskan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin. Pada dasarnya, hormon ini berfungsi untuk menyiapkan tubuh menghadapi ancaman, namun jika di lepaskan terlalu sering akibat paparan informasi negatif yang berulang, tubuh akan mengalami kelelahan. Kondisi inilah yang memicu stres berkepanjangan, bahkan tanpa adanya ancaman fisik yang nyata.
Informasi negatif juga sering menimbulkan rasa cemas dan khawatir yang berlebihan. Misalnya, seseorang yang terlalu sering membaca berita tentang kriminalitas mungkin akan merasa lingkungannya tidak lagi aman, meskipun dirinya tidak sedang menghadapi ancaman langsung. Rasa khawatir yang terus di pelihara membuat pikiran bekerja lebih keras, sehingga menambah beban mental. Akibatnya, seseorang menjadi lebih mudah lelah, sulit konsentrasi, dan sulit tidur. Inilah salah satu mekanisme bagaimana informasi negatif dapat bertransformasi menjadi sumber stres.
Selain itu, media sosial mempercepat penyebaran informasi negatif, sehingga seseorang bisa terpapar berulang kali dalam waktu singkat. Notifikasi berita buruk yang muncul terus-menerus memperkuat perasaan cemas dan menambah tekanan psikologis. Fenomena ini sering di sebut sebagai “doomscrolling”, yaitu kebiasaan terus mencari atau membaca berita buruk yang justru meningkatkan stres. Saat otak di penuhi hal-hal negatif, ruang untuk berpikir positif semakin sempit, sehingga individu merasa terjebak dalam lingkaran kecemasan yang sulit di hentikan.
Dampak dari stres akibat paparan informasi negatif juga bisa merembet ke aspek fisik. Tubuh yang mengalami stres berkepanjangan akan menunjukkan gejala seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, hingga jantung berdebar. Stres yang tidak terkendali bahkan bisa menurunkan sistem imun, membuat seseorang lebih rentan sakit.
Pikiran Gelisah Jadi Penyebab Sulit Tidur nyenyak. Ketika otak di penuhi berbagai kekhawatiran, baik tentang pekerjaan, masalah pribadi, maupun hal-hal yang belum terjadi, tubuh akan sulit memasuki kondisi rileks. Pikiran yang terus berputar membuat otak tetap aktif, sehingga hormon stres seperti kortisol meningkat. Padahal, untuk bisa tidur nyenyak, tubuh membutuhkan penurunan aktivitas otak dan pelepasan hormon melatonin yang memicu rasa kantuk. Jika kortisol mendominasi, melatonin akan terhambat, dan akhirnya seseorang kesulitan untuk tidur meski tubuh sudah merasa lelah.
Rasa gelisah juga sering menimbulkan gejala fisik yang semakin mengganggu kualitas tidur. Misalnya, jantung berdebar, napas lebih cepat, atau otot terasa tegang. Kondisi fisik ini membuat tubuh seolah berada dalam keadaan siaga, bukan relaksasi. Akibatnya, meski seseorang berhasil tidur, kualitas tidurnya tidak dalam. Ia lebih sering terbangun di malam hari atau mengalami mimpi buruk. Ketika bangun keesokan paginya, tubuh tidak terasa segar karena tidur yang di dapatkan bersifat dangkal dan terputus-putus.
Selain itu, pikiran gelisah biasanya juga membuat seseorang menunda waktu tidur. Banyak orang yang sibuk dengan kekhawatirannya memilih untuk membuka ponsel, menonton video, atau mencari informasi di internet sebagai bentuk pelarian. Kebiasaan ini justru memperparah masalah, karena cahaya biru dari layar gawai bisa menekan produksi melatonin.
Semakin lama waktu tidur tertunda, semakin berkurang pula kesempatan tubuh untuk beristirahat optimal. Jika berlangsung terus-menerus, kesulitan tidur akibat pikiran gelisah bisa berkembang menjadi insomnia kronis. Kondisi ini bukan hanya mengganggu kesehatan mental, tetapi juga kesehatan fisik. Tubuh yang kurang tidur akan lebih mudah lelah, daya tahan tubuh menurun, serta meningkatkan risiko penyakit jantung, obesitas, dan diabetes.
Strategi Mengurangi paparan informasi buruk sehari-hari menjadi langkah penting untuk menjaga kesehatan mental maupun fisik. Di era digital, informasi mengalir tanpa henti melalui televisi, portal berita, maupun media sosial. Tidak semua informasi bersifat positif atau bermanfaat, banyak di antaranya justru menimbulkan kecemasan, ketakutan, dan stres. Salah satu strategi yang bisa di lakukan adalah membatasi waktu konsumsi berita. Misalnya, cukup membaca berita sekali atau dua kali sehari pada jam tertentu, lalu berhenti setelah itu. Dengan cara ini, otak tidak terus-menerus di banjiri informasi negatif yang dapat memicu kekhawatiran berlebihan.
Strategi lain adalah melakukan kurasi sumber informasi. Artinya, seseorang perlu memilih dengan bijak media atau akun yang di ikuti. Mengikuti terlalu banyak akun berita sensasional atau penuh provokasi hanya akan memperburuk keadaan mental. Sebaiknya pilih sumber yang kredibel, berimbang, dan menyajikan informasi dengan bahasa yang tidak menakutkan. Dengan begitu, informasi yang di terima tetap relevan namun tidak menguras emosi. Selain itu, penting juga untuk berani melakukan digital detox, yaitu istirahat sejenak dari media sosial atau perangkat digital. Aktivitas ini membantu otak beristirahat dan mengurangi ketergantungan terhadap aliran informasi.
Mengalihkan fokus ke aktivitas positif juga efektif dalam mengurangi dampak buruk informasi negatif. Misalnya, membaca buku motivasi, mendengarkan musik, berolahraga, atau berkumpul dengan orang terdekat. Aktivitas semacam ini memberi energi baru sekaligus memperkuat ketahanan mental, sehingga pikiran tidak mudah larut dalam hal-hal negatif. Jika memungkinkan, seseorang juga bisa memperbanyak konsumsi informasi yang bersifat membangun, seperti kisah inspiratif, pengetahuan baru, atau berita tentang inovasi positif di berbagai bidang. Inilah beberapa strategi dari mengurangi Paparan Informasi Negatif.