

Makan Bergizi Gratis Tak Sesuai Selera Anak Dan Memicu Food Waste Sehingga Makanan Terbuang Karena Anak Tidak Mau Menghabiskan. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang ditujukan untuk anak-anak sekolah sebenarnya memiliki tujuan baik, yaitu memastikan setiap anak mendapatkan asupan nutrisi seimbang agar tumbuh sehat dan terhindar dari masalah gizi. Namun, dalam praktiknya, tantangan muncul ketika menu yang disajikan tidak sesuai dengan selera anak-anak.
Anak-anak cenderung memiliki preferensi makanan tertentu, baik dari segi rasa, tekstur, maupun jenis lauk yang mereka sukai. Ketika makanan yang diberikan tidak sesuai dengan selera tersebut, banyak anak memilih tidak menghabiskannya, bahkan ada yang sama sekali tidak menyentuh makanan itu. Kondisi ini berujung pada meningkatnya food waste atau pemborosan makanan, padahal anggaran yang digelontorkan negara untuk program tersebut sangat besar.
Food waste dari program MBG bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga persoalan etika dan lingkungan. Dari sisi ekonomi, makanan yang terbuang sama saja dengan uang rakyat yang tidak termanfaatkan secara optimal. Anggaran yang semestinya bisa mendukung perbaikan gizi anak-anak justru hilang tanpa memberikan manfaat nyata. Dari sisi etika, membuang makanan dalam jumlah besar di tengah masih banyaknya masyarakat yang kesulitan pangan menjadi hal yang ironis. Sedangkan dari sisi lingkungan, sampah makanan yang menumpuk akan meningkatkan emisi gas metana dari tempat pembuangan akhir, sehingga turut menyumbang pada masalah perubahan iklim.
Selain faktor selera, penyebab lain terjadinya food waste adalah pola penyajian makanan yang seragam. Setiap anak diberikan porsi dan menu yang sama, tanpa mempertimbangkan kebutuhan kalori, kondisi kesehatan, atau budaya makan daerah masing-masing. Padahal, keberagaman selera dan tradisi kuliner di Indonesia sangat besar, sehingga penyusunan menu tunggal cenderung tidak cocok untuk semua kalangan.
Menu sehat di sekolah sering di rancang dengan tujuan memastikan anak-anak mendapatkan asupan nutrisi seimbang, seperti sayur, buah, sumber protein, dan karbohidrat yang sesuai kebutuhan gizi. Namun, ketika Menu Sehat Makan Bergizi Gratis Tidak Sesuai Dengan Selera Anak, justru muncul masalah baru yaitu meningkatnya food waste atau makanan terbuang. Banyak anak yang belum terbiasa dengan cita rasa tertentu, misalnya sayuran pahit atau lauk yang di anggap kurang menarik, sehingga mereka lebih memilih meninggalkan makanan di piring daripada menghabiskannya. Akibatnya, makanan sehat yang semestinya membantu tumbuh kembang justru berakhir di tempat sampah.
Fenomena ini tidak hanya terjadi karena selera, tetapi juga berkaitan dengan pola makan sehari-hari di rumah. Anak-anak yang terbiasa mengonsumsi makanan instan, gorengan, atau makanan cepat saji seringkali sulit menerima menu sehat dengan cita rasa sederhana. Misalnya, lauk ikan rebus atau sayur bening terasa hambar di bandingkan makanan beraroma kuat yang biasa mereka konsumsi. Perbedaan ini membuat anak enggan menyentuh makanan bergizi meskipun sudah tersedia gratis. Padahal, penyusunan menu sehat membutuhkan anggaran besar dan tenaga dari pihak sekolah maupun pemerintah, sehingga makanan terbuang menimbulkan kerugian ekonomi sekaligus menyia-nyiakan sumber daya.
Dampak food waste dari menu sehat yang tidak sesuai selera anak cukup luas. Selain kerugian finansial, makanan terbuang dalam jumlah besar juga berdampak pada lingkungan karena menambah timbunan sampah organik di tempat pembuangan akhir. Sampah makanan akan menghasilkan gas metana yang memperparah pemanasan global. Ironisnya, di sisi lain masih banyak masyarakat yang kesulitan mendapatkan makanan bergizi, sehingga pemborosan ini menjadi paradoks sosial yang nyata.
Anak-anak pada umumnya memiliki Kecenderungan Memilih Makanan Yang Rasanya Gurih, manis, atau sudah familiar dengan kebiasaan makan mereka. Rasa gurih dan manis memberi kepuasan instan pada lidah sehingga lebih di sukai di bandingkan menu sehat yang biasanya memiliki rasa hambar atau bahkan pahit. Misalnya, anak lebih senang memakan ayam goreng tepung, sosis, atau jajanan manis daripada sayur rebus, ikan tanpa bumbu, atau buah yang kurang manis. Familiaritas juga berperan besar, karena makanan yang sering mereka konsumsi di rumah atau lingkungan sekitar terasa lebih aman dan nyaman. Sebaliknya, menu sehat yang baru atau tidak biasa justru menimbulkan penolakan karena di anggap asing.
Kebiasaan memilih makanan gurih dan manis ini sebenarnya terbentuk sejak kecil. Banyak orang tua lebih sering memberikan camilan praktis atau makanan cepat saji karena lebih mudah di terima anak. Akibatnya, lidah anak terbiasa dengan cita rasa kuat dari garam, gula, atau penyedap rasa. Ketika mereka di perkenalkan pada makanan sehat dengan rasa sederhana, tubuh dan lidah mereka merasa kurang puas. Kondisi ini menjelaskan mengapa program penyediaan makanan sehat di sekolah kerap menghadapi tantangan besar. Menu bergizi yang penuh manfaat justru tidak habis di makan dan berakhir sebagai food waste.
Fenomena ini berdampak cukup serius. Dari sisi gizi, anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan nutrisi penting dari menu sehat yang di sediakan. Dari sisi ekonomi, makanan yang tidak di makan berarti anggaran yang di gunakan menjadi sia-sia. Sementara dari sisi lingkungan, makanan yang terbuang menambah beban sampah organik yang sulit di tangani jika jumlahnya terus meningkat. Jika di biarkan, pola ini akan membentuk siklus tidak sehat, di mana anak terus terbiasa dengan makanan gurih dan manis, sementara makanan bergizi tetap di abaikan.
Mengurangi Food Waste Dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan tantangan yang memerlukan pendekatan menyeluruh, mulai dari perencanaan menu hingga edukasi anak. Salah satu penyebab utama food waste adalah menu yang tidak sesuai selera anak. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan sekolah dapat melibatkan ahli gizi, orang tua, dan bahkan anak-anak sendiri dalam penyusunan menu. Dengan begitu, makanan yang di sajikan tetap bergizi namun lebih sesuai dengan kebiasaan lokal dan cita rasa anak. Misalnya, sayuran bisa di olah dengan cara yang lebih kreatif, atau lauk sehat di berikan bumbu sederhana agar lebih menarik di lidah anak.
Selain penyesuaian menu, pengelolaan porsi juga penting. Tidak semua anak memiliki nafsu makan dan kebutuhan kalori yang sama. Memberikan porsi seragam justru berisiko menimbulkan sisa makanan berlebih. Sekolah dapat menerapkan sistem porsi fleksibel, di mana anak bisa memilih sesuai kemampuannya. Dengan begitu, jumlah makanan yang terbuang dapat di tekan. Jika ada sisa, sekolah bisa bekerja sama dengan pengompus untuk mengolah sampah makanan menjadi kompos, sehingga tetap memberi manfaat bagi lingkungan.
Edukasi gizi sejak dini juga sangat penting untuk mengurangi food waste. Anak perlu di berikan pemahaman bahwa makanan sehat memiliki manfaat besar bagi tubuh, bukan hanya sekadar soal rasa. Edukasi ini bisa di lakukan melalui kegiatan interaktif, seperti lomba masak sehat, penyuluhan gizi, atau permainan edukatif di sekolah. Jika anak sudah paham pentingnya nutrisi, mereka akan lebih termotivasi untuk menghabiskan makanan bergizi yang di sediakan. Inilah cara mengurangi food waste dari program Makan Bergizi Gratis.